Nama sesungguhnya adalah Sri Susanti. Usianya sudah melewati separuh abad dan rumahnya di kolong sebuah jembatan di kota Semarang, Jawa Tengah. Hidupnya sebatang kara. Ia mengaku tidak pernah merasa miskin karena mempunyai sahabat belasan anjing yang selalu menjaganya.
Mak Tun, demikian nama panggilan yang biasa digunakan kerabat dan sahabat untuk menyapanya. Sejak kecil, ia sudah tinggal di Semarang. Bahkan Mak Tun sempat memiliki usaha warung setelah orangtuanya wafat. Kini usahanya itu tiada lagi karena tergusur pembangunan kanal kota. Hanya tinggal anjing-anjingnya yang selalu menemani.
Kaya Cinta Tak Membuatnya Miskin
Persahabatan ini berawal pada tahun 2010. Kala itu, Mak Tun dirundung kesepian karena tak punya saudara kandung atau kerabat. Seorang teman meminta tolong padanya untuk merawat dua ekor anjing. Satu diberi nama Edo (jantan) dan satu lagi Belang (betina). Semakin lama, anjingnya beranak pinak hingga total berjumlah 20 anjing. Sayangnya, tak semua bisa bertahan hidup. Hanya tersisa 14 anjing.
“Setengah bulan yang lalu, 5 anak anjing baru terlahir. Satu ekor meninggal dengan tragis, tercebur ke sungai dan tenggelam saat Mak Tun pergi memasak nasi di bawah jembatan lain dan tidak bisa mengawasi bayi-bayi anjing tersebut,” cerita Rachma, seorang aktivis pecinta hewan yang menolong Mak Tun.
Sejak warungnya dirobohkan pada tahun 2010, Mak Tun jadi tak memiliki penghasilan. Uang yang diperoleh dari memulung tak bisa untuk biaya makan anjing-anjingnya. Karena itu, dia perlu bantuan segera. “Akhirnya beliau tinggal di kolong jembatan besar dengan ke-14 anjingnya,” cerita Rachma.
Namun di kolong jembatan besar itu, Mak Tun mendapat penolakan dari penghuni lain. Anjing-anjingnya dianggap mengganggu. Banyak warga memintanya untuk menjual anjing-anjingnya, namun Mak Tun menolak. Baginya, anjing-anjing itu adalah sahabat.
Mak Tun, demikian nama panggilan yang biasa digunakan kerabat dan sahabat untuk menyapanya. Sejak kecil, ia sudah tinggal di Semarang. Bahkan Mak Tun sempat memiliki usaha warung setelah orangtuanya wafat. Kini usahanya itu tiada lagi karena tergusur pembangunan kanal kota. Hanya tinggal anjing-anjingnya yang selalu menemani.
Kaya Cinta Tak Membuatnya Miskin
Persahabatan ini berawal pada tahun 2010. Kala itu, Mak Tun dirundung kesepian karena tak punya saudara kandung atau kerabat. Seorang teman meminta tolong padanya untuk merawat dua ekor anjing. Satu diberi nama Edo (jantan) dan satu lagi Belang (betina). Semakin lama, anjingnya beranak pinak hingga total berjumlah 20 anjing. Sayangnya, tak semua bisa bertahan hidup. Hanya tersisa 14 anjing.
“Setengah bulan yang lalu, 5 anak anjing baru terlahir. Satu ekor meninggal dengan tragis, tercebur ke sungai dan tenggelam saat Mak Tun pergi memasak nasi di bawah jembatan lain dan tidak bisa mengawasi bayi-bayi anjing tersebut,” cerita Rachma, seorang aktivis pecinta hewan yang menolong Mak Tun.
Sejak warungnya dirobohkan pada tahun 2010, Mak Tun jadi tak memiliki penghasilan. Uang yang diperoleh dari memulung tak bisa untuk biaya makan anjing-anjingnya. Karena itu, dia perlu bantuan segera. “Akhirnya beliau tinggal di kolong jembatan besar dengan ke-14 anjingnya,” cerita Rachma.
Namun di kolong jembatan besar itu, Mak Tun mendapat penolakan dari penghuni lain. Anjing-anjingnya dianggap mengganggu. Banyak warga memintanya untuk menjual anjing-anjingnya, namun Mak Tun menolak. Baginya, anjing-anjing itu adalah sahabat.
Karena terusir, Mak Tun pun pindah ke kolong jembatan yang lebih kecil. Di lokasi baru itu, hanya ada jalur pijakan sempit. Bila hujan dan petugas lupa menutup pintu air, maka air bisa menggerus ‘rumah’ Mak Tun. Tak jarang, perempuan paruh baya itu harus berdiri merapat ke tembok sepanjang malam sambil menggendong 4 bayi anjing.
“Risiko besar terpeleset dan tercebur ke arus harus dihadapi dengan tabah,” demikian Rachma menjelaskan.
Saat ditemui detikcom di kolong jembatan kawasan Pusponjolo, Semarang, Mak Tun terlihat sibuk bersiap-siap memberi makan anjing-anjing piaraannya yang begitu ia sayangi. Berkaos hijau pupus, ia tampak bahagia mengasuh sahabat-sahabat hidupnya itu, tidak beda dengan kebahagiaan orangtua yang menyayangi anak. Padahal makanan yang diberikan hanyalah sisa-sisa nasi yang dipungutnya di jalanan. “Saya sayang sekali sama mereka, mereka yang menemani saya. Saya hidup sendiri sama anjing-anjing ini,” tutur Mak Tun dengan pancaran hati malaikat.
maktun.
Selang beberapa hari setelah Mak Tun ditemui detikcom, kabar gembira menghampirinya secara tak terduga. Raut bahagia tampak di wajahnya. Mulai akhir bulan Maret 2013, ia dan belasan anjingnya dapat meninggalkan tempat tinggal lama mereka di bawah jembatan dekat sungai Banjir Kanal Barat, Semarang. Berkat dampingan para aktivis, Mak Tun kini pindah ke naungan yang lebih layak, yaitu di sebuah bangunan yang dulunya digunakan untuk toko anjing.
Di hadapan anjing-anjingnya, berulang kali Mak Tun tersenyum lalu mengusap air matanya, ia mengungkapkan kebahagiaannya karena sudah tidak lagi melawan arus air sungai saat hujan dan tidak khawatir ada anjingnya yang hanyut.
“Senang sekali, dari dulu pengen punya tempat untuk tidur, tidak kena air sungai. Sudah lama pengen seperti ini, di perkampungan, tapi ‘kan selama ini kalau sama anjing kan nggak boleh,” kata Mak Tun saat ditemui detikcom di tempat tinggal barunya di Gayamsari, Semarang.
“Yang penting sekarang jauh dari air sungai, nggak kepleset-pleset lagi,” imbuhnya.
Dulu Melata, Kini Berlarian
Sebelumnya Mak Tun tinggal di bawah jembatan dengan kondisi memperihatinkan. Hanya ada jarak 50 cm meter di pinggir sungai untuk tempat Mak Tun berpijak, saat tidur ia akan menempati susunan papan yang bisa digunakan bersama anjing-anjingnya. Saat ini Mak Tun tinggal di bangunan seluas 15 m x 4 m. Lebih dari separuhnya digunakan untuk menampung belasan anjing milik Mak Tun.
maktun_04“Sekarang sudah bisa lari-lari, dulu kan enggak bisa seperti ini,” ujar Mak Tun.
Salah satu relawan yang membantu Mak Tun, Didit Wicaksono, mengatakan untuk membantu kepindahan Mak Tun dan anjing-anjingnya, sejumlah relawan sebelumnya menyemprotkan obat HT4 untuk membunuh virus yang mungkin berada di bangunan tersebut. “Ini sudah dua minggu nggak terpakai, kemarin terlalu jorok. Ini tadi disemprot HT4 untuk matiin virus. Sementara Mak Tun di sini dulu sebelum dapat tempat yang lebih layak,” terangnya.
Relawan lainnya, Rahmanika Kumalasari menambahkan, sementara Mak Tun akan didukung untuk kehidupan sehari-harinya oleh para donatur. Namun ke depannya, pemilik tempat akan membuka toko agar Mak Tun bisa mandiri. “Ke depannya pemilik tempat sudah bilang akan dibukakan toko, jadi Mak Tun tidak meninggalkan tempat dan bisa menjaganya,” kata Rahma.
Kisah Mak Tun menjadi pembicaraan hangat di kalangan pecinta hewan, dan mungkin menjadi hikmah bagi mereka yang pernah menghina perempuan sederhana berhati malaikat ini.
“Risiko besar terpeleset dan tercebur ke arus harus dihadapi dengan tabah,” demikian Rachma menjelaskan.
Saat ditemui detikcom di kolong jembatan kawasan Pusponjolo, Semarang, Mak Tun terlihat sibuk bersiap-siap memberi makan anjing-anjing piaraannya yang begitu ia sayangi. Berkaos hijau pupus, ia tampak bahagia mengasuh sahabat-sahabat hidupnya itu, tidak beda dengan kebahagiaan orangtua yang menyayangi anak. Padahal makanan yang diberikan hanyalah sisa-sisa nasi yang dipungutnya di jalanan. “Saya sayang sekali sama mereka, mereka yang menemani saya. Saya hidup sendiri sama anjing-anjing ini,” tutur Mak Tun dengan pancaran hati malaikat.
maktun.
Selang beberapa hari setelah Mak Tun ditemui detikcom, kabar gembira menghampirinya secara tak terduga. Raut bahagia tampak di wajahnya. Mulai akhir bulan Maret 2013, ia dan belasan anjingnya dapat meninggalkan tempat tinggal lama mereka di bawah jembatan dekat sungai Banjir Kanal Barat, Semarang. Berkat dampingan para aktivis, Mak Tun kini pindah ke naungan yang lebih layak, yaitu di sebuah bangunan yang dulunya digunakan untuk toko anjing.
Di hadapan anjing-anjingnya, berulang kali Mak Tun tersenyum lalu mengusap air matanya, ia mengungkapkan kebahagiaannya karena sudah tidak lagi melawan arus air sungai saat hujan dan tidak khawatir ada anjingnya yang hanyut.
“Senang sekali, dari dulu pengen punya tempat untuk tidur, tidak kena air sungai. Sudah lama pengen seperti ini, di perkampungan, tapi ‘kan selama ini kalau sama anjing kan nggak boleh,” kata Mak Tun saat ditemui detikcom di tempat tinggal barunya di Gayamsari, Semarang.
“Yang penting sekarang jauh dari air sungai, nggak kepleset-pleset lagi,” imbuhnya.
Dulu Melata, Kini Berlarian
Sebelumnya Mak Tun tinggal di bawah jembatan dengan kondisi memperihatinkan. Hanya ada jarak 50 cm meter di pinggir sungai untuk tempat Mak Tun berpijak, saat tidur ia akan menempati susunan papan yang bisa digunakan bersama anjing-anjingnya. Saat ini Mak Tun tinggal di bangunan seluas 15 m x 4 m. Lebih dari separuhnya digunakan untuk menampung belasan anjing milik Mak Tun.
maktun_04“Sekarang sudah bisa lari-lari, dulu kan enggak bisa seperti ini,” ujar Mak Tun.
Salah satu relawan yang membantu Mak Tun, Didit Wicaksono, mengatakan untuk membantu kepindahan Mak Tun dan anjing-anjingnya, sejumlah relawan sebelumnya menyemprotkan obat HT4 untuk membunuh virus yang mungkin berada di bangunan tersebut. “Ini sudah dua minggu nggak terpakai, kemarin terlalu jorok. Ini tadi disemprot HT4 untuk matiin virus. Sementara Mak Tun di sini dulu sebelum dapat tempat yang lebih layak,” terangnya.
Relawan lainnya, Rahmanika Kumalasari menambahkan, sementara Mak Tun akan didukung untuk kehidupan sehari-harinya oleh para donatur. Namun ke depannya, pemilik tempat akan membuka toko agar Mak Tun bisa mandiri. “Ke depannya pemilik tempat sudah bilang akan dibukakan toko, jadi Mak Tun tidak meninggalkan tempat dan bisa menjaganya,” kata Rahma.
Kisah Mak Tun menjadi pembicaraan hangat di kalangan pecinta hewan, dan mungkin menjadi hikmah bagi mereka yang pernah menghina perempuan sederhana berhati malaikat ini.